sejarah pulau tambelan
Kecamatan Tambelan, Kabupaten Bintan memiliki andil besar dalam sejarah Kerajaan Johor Riau. Kecamatan terpencil di Bintan itu pernah menjadi pusat pemerintahan Johor Riau di masa Sultan Johor VII Sultan Abdullah Ma'ayat Syah ketika dalam pelarian dari Lingga. Sultan mangkat di Tambelan dan dikebumikan di sana. Bagaimana-jejak-jejak sejarah itu?
Mendengar nama Tambelan, tentu telingga tak asing lagi. Untuk sampai Tambelan saat ini masih terbilang sulit. Rute kapal perintis Km Gunung Bintan hanya 10 hari sekali ke Tambelan dari Tanjungpinang. Inilah salah satu transportasi warga yang hendak ke Tambelan. Sedangkan dari Tambelan ke Tanjungpinang, masyarakat di sana menggunakan Trigas, kapal kargo yang tidak laik untuk dijadikan kapal penumpang. Jadwalnya keberangkatan cuma 10 hari sekali.
Jika ingin menggunakan jalur alternatif selain Gunung Bintan, masyarakat Tambelan biasanya menumpang kapal ikan yang menampung ikan dari nelayan, kemudian dijual di Tanjungpinang dan kalimantan, bahkan ikan dari Tambelan dijual sampai ke Singapura. Jauhnya Tambelan dari pusat pemerintahan, menyebabkan jarang dikunjungi pejabat. Bisa dikatakan, setahun sekali bupati berkunjung ke sana untuk menemui masyarakat.
Secara geografis, letak Tambelan di Laut China Selatan, 210 mil dari Pulau Bintan. Waktu yang ditempuh untuk sampai di Tambelan sekitar 21 jam. Jika gelombang besar, waktu perjalanan bisa bertambah 10 jam. Dengan jumlah penduduk 5.000 jiwa, Tambelan memiliki 8 desa, satu kelurahan.
Mendengar nama Tambelan, tentu telingga tak asing lagi. Untuk sampai Tambelan saat ini masih terbilang sulit. Rute kapal perintis Km Gunung Bintan hanya 10 hari sekali ke Tambelan dari Tanjungpinang. Inilah salah satu transportasi warga yang hendak ke Tambelan. Sedangkan dari Tambelan ke Tanjungpinang, masyarakat di sana menggunakan Trigas, kapal kargo yang tidak laik untuk dijadikan kapal penumpang. Jadwalnya keberangkatan cuma 10 hari sekali.
Jika ingin menggunakan jalur alternatif selain Gunung Bintan, masyarakat Tambelan biasanya menumpang kapal ikan yang menampung ikan dari nelayan, kemudian dijual di Tanjungpinang dan kalimantan, bahkan ikan dari Tambelan dijual sampai ke Singapura. Jauhnya Tambelan dari pusat pemerintahan, menyebabkan jarang dikunjungi pejabat. Bisa dikatakan, setahun sekali bupati berkunjung ke sana untuk menemui masyarakat.
Secara geografis, letak Tambelan di Laut China Selatan, 210 mil dari Pulau Bintan. Waktu yang ditempuh untuk sampai di Tambelan sekitar 21 jam. Jika gelombang besar, waktu perjalanan bisa bertambah 10 jam. Dengan jumlah penduduk 5.000 jiwa, Tambelan memiliki 8 desa, satu kelurahan.
SULTAN ABDULLAH MUAIYATSYAH
(1615-1623)
(1615-1623)
1. Riwayat
Meriwayatkan Sultan Abdullah Muaiyatsyah bernama Sayyid Abu Bakar Raja Bungsu. Raja seberang yaitu Sultan J o h o r VII yang makamnya berada di Pulau Tambelan Kabupaten Kepulauan Riau termasuk salah satu pulau di Pulau Tujuh.
Makam Sultan Johor ini terletak di kawasan pedesaan Batu Lepuk yang tidak jauh dari komplek Sekolah Dasar No.003 Tambelan. Makam beliau terletak di sebuah bangunan tua yaitu atas prakarsa almarhum Datuk Kaya Hasnan Yahya.
Makam Sultan Abdullah Muaiyatsyah ini dikelilingi oleh makam keluarga lainnya serta di sebelah menghadap ke Utara terletak pula makam seorang Raja Riau yang bernama Sultan Mansyur. Marhum Tambelan ini semula makamnya terletak di suatu bukit bernama Bukit B e n t a y a n (Mentayan).
Oleh Sultan Mansur dan saudaranya bernama Sultan Y a h y a makam tersebut di pugar dan di pindahkan ke tempat yang sekarang ini dan oleh PSK telah di lindungi oleh Undang-undang monumenten Ordonansi STB 238 1931 dengan lokasi di Desa Batu Lepuk Tambelan.Situs bersejarah ini erat kaitannya dengan asal usul nama Pulau Tambelan, sehingga kepindahan beliau (Sultan Johor) mempunyai arti yang sungguh mendalam bagi setiap masyarakat yang mengunjungi ataupun berziarah ke makam Raja Bungsu dari Johor tersebut. Marilah kita ikuti riwayat sejarah terjadinya Pulau Tambelan menurut cerita atau versi dan seorang tokoh masyarakat yang bertempat tinggal di Desa Kampunq Hilir Kecamatan Tambelan. Cerita asal muasal Tambelan ini menurut beliau ada kaitannya dengan pemakamam Sultan Abdullah Muaiyatsyah yang di ceritakan di atas.
Hasil rekaman Bapak Ramli Ismail ini berasal dari H. Ali Bin M. Said (Almarhum) kira-kira pada tahun 1948 dimana beliau pada saat itu berada di Kalimantan Barat. Penulis sendiri pernah menyaksikan basil karya beliau berupa syair-syair, sajak dan catatan berupa silsilah turunan orang-orang datuk nenek orang Tambelan.
Beliau adalah orang tua dari almarhum Ismail Ali mantan Jupen Kecamatan Tambelan dan kemudian pensiun dan tutup usia di Tanjungpinang.
2. Kedatangan Rombongan dari Johor Malaysia.
Pada tahun 1623 Masehi datanglah ke pulau yang sekarang namanya Tambelan perahu layar dari Riau anggota perahu tersebut terdiri dari :
1. Encik Tani
2. Encik putih
3. Abdurrahman Syah
4. Sayyid Abu Bakar
Perahu layar dimaksud berlabuh di suatu tempat yang kemudian disebut "Tanjung Ayam". Mengapa disebut Tanjung ayam? Karena paduka raja membawa ayam kesayangannya yaitu seekor ayam putih berkaki kuning.
Dari perahu inilah ayam tersebut diterbangkan melalui Tanjung dan terbang hingga hinggap di suatu busut dimana nantinya tempat persemayaman baginda raja terakhir. Mengapa beliau dan rombongann sampai ke Tanjung yang bersejarah ini?.
Tujuan rombongan yang sebenarnya ialah untuk menunju Kalimantan Utara atau Berunai. Salah seorang penumpang sebagaimana disebutkan diatas, adalah Sultan Johor VII yaitu turunan dari Sultan Johor yang memerintah tahun 1564-1570 bernama Sultan Musafar Syah yang kawin dengan anak Raja Pahang.
Beliau ke Kalimantan Utara lantaran di masa itu ibu kota sayang pinang dibumi hanguskan oleh orang-orang Aceh.
Menurut sumber Detik pada 12 Desember 1637 seorang pelaut bangsa Belanda bernama Vande Veer dalam catatannya bahwa di Tambelan telah di ketemukan seorang Raja Johor bernama Sultan Abdullah Muaiyatsyah. Lebih lanjut Detik menjelaskan bahwa Sultan Johor bernama Raja Bujang dari kerajaan Daik dan Lingga di buru terus oleh orang-orang Aceh (pasukan Aceh) karena sangat marah lantaran sultan Johor berkerja sama dengan orang Portugis dan Belanda.
3. Sultan Iskandar Muda
Semasa itu Aceh di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) menyerang Johor dan merebutnya tahun 1613. Semua pembesar termasuk sultan dan bendaharawan Tuan Sri Lanang ditawan di bawa ke Aceh, akhirnya Sultan Aludin Riayatsyah III mangkat di sana, kemudian Aceh merobah keputusan mereka dan melantik kembali Sultan Johor serta pembesar johor dikembalikan ke negeri mereka dengan perjanjian Sultan Johor tidak akan bersekutu dengan orang Protugis dan Belanda serta bersedia kawin dengan anak Sultan Iskandar Muda.
Sultan Abdullah dilantik menjadi Sultan Johor dengan gelar Abdullah Muaiyatsyah di tahun 1615. namun Sultan ingkar janji serta bersekutu dengan protugis untuk menentang Aceh, Isterinya anak dari Sultan Aceh diceraikannya, akibat dari hal itu Sultan Aceh menjadi marah.
Meningkat kemurkaan baginda disebabkan tindakan Sultan Johor pada tahun 1623-1677 mengangkat Raja Bujang anak dari Sultan Aludin Riayatsyah III (Sultan Johor VI) pada tahun 1597-1615 yang sangat tidak disenangi oleh Aceh selaku Sultan Pahang.
Akibat dari tindakan Sultan Johor ini pada tahun 1623 Aceh kembali menyerbu Johor, sehingga ibu kota yang bernama sayang Pinang dibumi hangguskan. dengan keadaan yang demikian gawatnya, Sultan Abdullah Muaiyatsyah dan Raja Bujang melarikan diri ke Lingga namun pasukan Aceh terus mernburunya sampai ke pulau-pulau terjauh hingga sampailah ke laut Cina Selatan tepatnya di perairan Kecamatan Tambelan.
4. Asal Muasal Nama Tambelan
Semasa itu Pulau Tambelan belum bernama, dengan kedatangan Sultan Johor inilah Pulau Tambelan yang sekarang ini diberi narna Pulau Sabde, dinamakan demikian oleh pengikut beliau (rombongan Sultan Abdullah Muaiyatsyah, karena abdi raja dan pengikut beliau orang kalangan istana Johor yang mempergunakan bahasa istana seperti :
Sabde : Bertutur
Patik : Saya
Tuan Ku : Raja
Sabde terakhir pada orang yang sangat mereka cintai ini sangat berkesan yang mendalam di lubuk hati setiap rombongan. Untuk mengingatkan dimana junjungan mereka di makamkan yang mereka tidak tahu tempatnya lalu dilepaskanlah ayam putih kaki kuning kesayangan raja untuk menentukan dimana sultan akan di kebumikan.
Sabde, titah perintah baginda sultan yang terakhir ini, bahwa dimana ayam kesayangan hinggap disitulah beliau dimakamkan. Pesan ini menimbulkan kesan yang sangat mendalam, sehingga di suatu busut dari kejauhan yang nampaknya timbul tenggelam maka busut tersebut di sebut tanah Sabde akhirnya tanah sabde menjelma pulau subde, akhirnya anggota rombongan tidak dapat meneruskan perjalanan sebagaimana mestinya, sehingga mereka menggabungkan diri dengan penduduk setempat.
5. Rombongan dari Riau
Sehubungan dengan berita Tuan Sayyid Abu Bakar (Sultan Johor) tidak pernah ada, maka diutuslah rombongan dari daerah Riau yang dipimpin oleh "AWANG SEMIRAH MUDA". Awang Semirah Muda adalah saudaranya dari Panglima Lidah Belang yang menurut riwayatnya beliau meninggal diperairan dekat pulau Sabde dalam suatu pertempuran dengan lanon-lanon (bajak taut) Moro Filipina. Beliau digelari Lidah Belang karena lidah beliau berbelang-belang. Pahlawan ini berasal dari kerajaan Lingga.
Makam betiau terletak disuatu bukit di Desa Hilir yang disebut masyarakat setempat dengan nama "Air Raya" kira-kira 200 meter dari jalan Raya Desa Hilir Tambelan.
Perahu layar yang membawa rombongan dari Riau ini bernama "GELIUNGPANJANG", Yang berpenumpang antaranya : Sultan Siak, Sultan Mansur dan Sultan Yahya, demi keselamatan kedua sultan dan rombongan inilah panglima Lidah Belang mati-matian mempertahankan sultannya. Beliau berhasil menyelamatkan rombongan dengan memusnahkan bajak-bajak laut Moro. Makam beliau dapat disaksikan dengan bernisankan sebuah batu granit dan oleh Kabit PSK Kanwil Depdikbud Propinsi Riau yang pada masa itu di jabat oleh
Bapak M. Ali Effendi Hasbullah Hasbi memasang papan dengan "MONOMENTEN ORDONANSI" STB 238 tab un 1931 di Desa Hilir Tambelan. Makam pahlawan yang berjasa ini sangat disayangkan tidak terawat sebagairnana mestinya.
Semoga dengan adanya informasi ini dapatlah kiranya mendapat perhatian, baik dari masyarakat setempat maupun dari dana yang telah tersedia oleh yang ada kaitanya dengan pemugaran benda-benda/peninggalan bersejarah.
Sebelum rombongan Sultan Mansur dan Sultan Yahya mendarat, dan kejauhan terlihatlah pulau sabde seperti lampu di tengah lautan yang berkelipkelipan. Rombongan yang belum tahu dengan nama pulau sabde menyebut pulau yang berkelip-kelip tersebut dengan nama pulau "KANDEL BAHAR" yang maksudnya
Kandil artinya Pelita (lampu)
Bahar artinya lautan (samudra)
Kandil Bahar bermakna mengandung pengertian "Kelipan latnpu di tengah lautan ". Setibanya mereka barulah mendapat penjelasan dari masyarakat setempat bahwa pulau Kandil Bahar bernama pulau Sabde.
Informasi yang di sampaikan oleh penduduk setempat menunjukan bahwa Sultan Johor (Marhum Tambelan) terletak di sebuah busut/bukit yang di namakan bukit Bentayan (Mentayan).
Dengan bekerja keras rombongan serta di bantu penduduk setempat, makam Sultan Johor yang semulanya berada di Bukit Bentayan yang tidak jauh letaknya dengan Batu Yuk yang lokasinya sekarang di Desa Melayu Ujung di pindahkan ke komplek makam yang sekarang ini di desa Batu Lepuk Tambelan.
Makam ini dikelilingi oleh empat keping batu karang dengan ukuran panjang 345 cm dan lebar 120 cm di atas batu ini terdiri atau terbujur batu besar berbentuk segi empat panjang. Keliling pinggirnya dipahat/dikenai dengan ukuran panjang 250 cm dan lebar 45 cm serta tebalnya 45 cm.
Di atas batu itu terdiri dua batu nisan terdiri dari batu karang yang diukir indah, dengan dasar bawah 27 x 27 cm. Nisannya setinggi 100 cm di arah ke Timur dan Selatan tertulislah dengan seni huruf arab gaya Riq'at yang cantik dan rapi dengan ukiran timbul dari pahatan batu karang dengan tulisan kalimat :
"HIJRATUN NABI SALLALAHU ALAIHI WASALAMPADA SERIBU LIMA PULUH KEPADA HARI BULAN JUMADIL A WAL KEPADA HARI ISNIN KEPADA SA YYID (Seterusnya tidak dapat dibaca karena mengalami kerusakan).
Hasil karya yang dituliskan pada makam tersebut ialah tulisan atau ditulis oleh Sultan Mansur yang dibantu penduduk setempat. Setelah selesai Sultan Mansur membina makam almarhum Tambelan dengan tidak diduga-duga Sultan Mansur jatuh sakit dan tidak lama kemudian dengan kehendak Allah SWT, beliau lalu meninggal dunia di pulau sabde (Pulau Kandil Bahar) pada hari jum'at tahun 1143 H atau tahun 1723 M. Beliau dimakamkan tidak berjauhan letaknya dengan makam Raja Bungsu (Sultan Abdullah Muaiyatsyah).
Perlu diperhatikan, bahwa makam Sultan Mansur hanya ditandai oleh dua buah tonggak kayu resak yang bagian atasnya telah dimakan rayap. Sangat memprihatinkan apabila Raja Riau yang telah mengabdikan dirinya terhadap Sultan Johor tidak mendapat perhatian dari semua pihak, terutam penduduk (masyrakat) Kepulauan Riau untuk menitik beratkan dalam melestarikan peninggalan yang sangat dihormati sebagai peninggalan bersejarah untuk kenang-kenangan dimasa yang akan datang.
Dengan rasa sedih Sultan Yahya sebagai saudaranya kembali beserta rombongan ke Riau, dan pada
Sepeninggalan Sultan Yahya keadaan Pulau Sabde semakain tidak aman sering terjadi perampokan yang dilakukan oleh para lanon-lanon.
6. Kubu Pertahanan
Untuk menjaga keamanan agar segala sesuatu terutama makam sultan senantiasa terjamin, atas pennufakatan penduduk setempat di buatlah benteng-benteng pertahanan yang mengelilingi makam Sultan sampai ke Padang Keluntak (Bukit Tempurung) yaitu suatu tempat pertahanan yang disebut Kubu Aur Berduri. Kubu yang mengarah ke Utara dinamakan Kubu pertahanan Teluk Abik. Pada jalur Selatan disebut kubu Sri Penolak (kubu Air terbarung). Di sinilah terletak sebuah meriarn tua yang berhasil dirampas dari orang protugis.